Sikap
adalah konsep yang banyak digunakan dalam keperluan akademis, selain juga dalam
penggunaan sehari-hari. Konsep tentang sikap dibutuhkan untuk menjelaskan
konsistensi dalam perilaku individu dalam beragam situasi, sehingga banyak
penelitian dari latar disiplin berbeda yang bertujuan mengembangkan hubungan
antara sikap dan perilaku (Werder dalam Littlejohn & Foss, 2009: 56).
Konsep
dari sikap memainkan peran penting dalam menjelaskan cara manusia bertindak
& juga memprediksi perilaku mereka. Sikap dilihat sebagai penyebab dari
perilaku dalam penelitian-penelitian psikologis sosial (Werder dalam Littlejohn
& Foss, 2009: 56).
William
Thomas & Florian Znaniecki pada 1918 mendefinisikan sikap sebagai “..a mental and neural state of readiness,
organized through experience, exerting a directive or dynamic influence on the
individual’s response to all objects and situations with which it is related”
atau keadaan bersiap secara mental & dalam syaraf, terorganisir melalui
pengalaman, menghasilkan perintah atau pengaruh dinamis dalam respons individu
terhadap semua objek & situasi yang terkait dengan sikap tersebut (Werder
dalam Littlejohn & Foss, 2009: 56).
Definisi
terbaru dari Philip Zimbardo & Michael Leippe menunjukkan sikap sebagai “evaluation disposition toward some object,
based on cognitions, affective reactions, behavioral intentions, and past
behaviors, that can influence cognitions, affective responses, and future
intentions and behaviors” atau landasan dalam evaluasi terhadap objek
tertentu, berdasarkan pada kognisi, reaksi afektif, niat dalam berperilaku,
& perilaku dari masa lalu, yang dapat berperngaruh terhadap kognisi,
respons afektif, & niat dalam berperilaku, sekaligus terhadap perilaku di
masa depan (Werder dalam Littlejohn & Foss, 2009: 56).
Werder
menyingkat definisi dari Zimbardo & Leippe dengan menyatakan sikap adalah
landasan yang dipelajari untuk menyediakan arahan bagi tindakan berikutnya
(Littlejohn & Foss, 2009: 56).
Icek
Ajzen menjelaskan attitude adalah
kecenderungan untuk merespons dengan suka (favorably)
atau dengan tidak suka (unfavorably)
terhadap objek, orang, institusi, atau kejadian. Menurut Ajzen, walaupun ada
banyak definisi dari attitude,
kebanyakan psikolog sosial setuju tentang karakter utama dari attitude adalah adanya sifat
evaluatifnya (pro atau kontra, suka atau tidak suka) terhadap objek attitude. Teknik pengukuran attitude juga ditunjukkan dengan cara
memberikan skor evaluatif atas kesukaan atau ketidaksukaan individu terhadap
objek attitude (Ajzen, 2005: 3).
Ada
empat alasan yang membuat orang memiliki sikap (Werder dalam Littlejohn &
Foss, 2009: 56), yaitu:
- Sikap membantu
mengorganisir dan merangkum (simplify)
lingkungan manusia yang rumit, sehingga manusia dapat memahami lingkungan
mereka dengan lebih baik.
- Sikap dapat
membantu orang melindungi harga dirinya (self-esteem) ketika ada pernyataan atau pendapat yang mereka
tidak sukai, karena sikap cenderung mengarahkan manusia untuk berkumpul
dan saling mendukung dengan mereka yang memiliki cara pandang yang sama dengan
diri mereka.
- Sikap membuat
lingkungan lebih mudah diprediksi sebagaimana sikap dapat memancing reaksi
ulangan atau repetitif berdasarkan pengalaman sebelumnya terhadap objek
sikap. Dengan kata lain, sikap dapat membuat orang lebih mudah bereaksi
terhadap lingkungan tanpa harus berpikir dalam setiap kali bereaksi.
- Sikap membantu
manusia mengekspresikan kepribadian pribadi maupun nilai-nilai fundamental
yang dipegang oleh setiap manusia tersebut.
Sikap
dapat dilihat terdiri dari berbagai bentuk penilaian pribadi dari individu.
Walaupun sikap cenderung konsisten dalam menghadapi objek, situasi, maupun
orang yang berbeda-beda, tetapi sikap memiliki kemungkinan untuk berubah.
Pengalaman tertentu dapat mengubah sikap tersebut. Penelitian tentang sikap
kemudian banyak digunakan untuk mempelajari persuasi dan propaganda, terutama
setelah Perang Dunia II (Werder dalam Littlejohn & Foss, 2009: 56).
Awalnya
sikap dilihat hanya sebagai satu dimensi (unidimension)
yang berpengaruh langsung terhadap perilaku, tetapi beberapa riset lanjutan
membuktikan bahwa sikap tidak cukup dilihat dari satu dimensi saja. Penelitian
sebelum 1950 cenderung melihat sikap sebagai satu dimensi yang dapat
ditunjukkan dengan pernyataan individu terkait objek sikap tertentu. Beberapa
peneliti, termasuk Richard LaPiere (Werder dalam Littlejohn & Foss, 2009:
56).
Penelitian
LaPiere meragukan asumsi sikap sebagai konsep unidimensional. Dia membuktikan
pernyataan verbal seseorang tentang sikap mereka tidak dapat memprediksi dengan
baik bagaimana mereka berperilaku. Manusia dapat saja menyampaikan satu sikap,
tetapi bertindak bertentangan dengan sikap tersebut saat berhadapan dengan
situasi sebenarnya (Werder dalam Littlejohn & Foss, 2009: 56).
Setelah
1950, sikap mulai dianggap sebagai konsep multidimensional atau yang memiliki
banyak dimensi. Pandangan akan sikap mulai memunculkan asumsi sikap sebagai
sistem yang terdiri dari kepercayaan (belief),
perasaan, dan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap (Werder dalam
Littlejohn & Foss, 2009: 56).
Ajzen
(2005) melihat sikap sebagai konstruk atau konsep yang juga multidimensional.
Dia berpendapat sikap adalah konstuk yang tidak dapat diamati secara langsung dan
hanya dapat diamati berdasarkan respons yang terukur. Dengan kata lain, sikap
dapat diukur dengan respons-respons tertentu sebagai dimensi-dimensi di dalam
sikap. Respons yang diukur harus menunjukkan penilaian evaluatif dari individu
terhadap objek attitude.
Walaupun
Ajzen menjelaskan ada beberapa respons yang dapat diamati untuk mengukur sikap,
dia juga menyatakan bahwa tidak ada batasan pada jenis-jenis respons yang dapat
diamati. Respons atau dimensi yang perlu diukur untuk mengetahui sikap bisa
saja lebih banyak dari yang Ajzen tawarkan. Menurut Ajzen, paling tidak,
peneliti dapat membagi respons yang menunjukkan attitude berdasarkan tiga dimensi, yaitu respons kognitif, respons
afektif, dan respons konatif (Allport 1954, McGuire 1969, & Hilgard 1980
dalam Ajzen 2005: 4). Dalam setiap dimensi ini, peneliti dapat juga membagi
responsnya menjadi dua, yaitu verbal dan nonverbal.
Respons-respons
yang dapat diteliti untuk mengukur attitude
(berdasarkan analisis Rosenberg & Hovland 1960 dalam Ajzen, 2005: 4):
Mode
respons
|
Dimensi
Respons
|
||
Kognisi
|
Afeksi
|
Konasi
|
|
Verbal
|
Ekspresi
dari kepercayaan (belief) tentang
objek attitude
|
Ekspresi
dari perasaan terhadap objek attitude
|
Ekspresi
dari intensi terhadap behavior (behavioral intention)
|
Nonverbal
|
Reaksi
yang nampak (perceptual) dari
individu terhadap objek attitude
|
Reaksi
fisiolofis atau fisik terhadap objek attitude
|
Behavior
yang nampak yang berhubungan dengan objek attitude
|
0 Response to "Teori Sikap (Attitude)"
Post a Comment