Elliot
Aronson, salah seorang kritikus teori ini, menjelaskan bahwa riset Festinger
tentang minimal justification sebenarnya meneliti tentang penjagaan
harga diri (self-esteem maintenance) yang sebenarnya terkait dengan
konsep diri (self-concept). Dia menyatakan, semakin tinggi harga diri
seseorang, semakin besar disonansi yang dirasakan ketika diminta melakukan counterattitudinal
advocacy (Aronson 1969 dalam Griffin, 2012: 223).
Lebih lanjut, Aronson mengajukan pendapat bahwa
disonansi bukan karena inkonsistensi di antara kognisi, melainkan karena
inkonsistensi psikologis. Dia menjelaskan disonansi terjadi ketika seseorang
bertindak sesuatu yang melanggar konsep dirinya (self-concept). Aronson menjelaskan bahwa kebanyakan manusia
memiliki konsep diri yang positif, disonansi cenderung dialami ketika seseorang
bertindak negatif, seperti bertindak secara inkompeten (tidak mampu mencapai
target keahlian tertentu), irrasional (tidak masuk akal), atau tidak bermoral
(Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 110; Aronson, 1969 dalam
Griffin, 2012: 223).
Revisi dari Aronson ini memprediksi bahwa
individu dengan harga diri rendah (low
self-esteem) cenderung merespons dengan pengurangan disonansi yang lebih
rendah ketimbang individu dengan harga diri tinggi (high self-esteem) yang merespons dengan lebih banyak pengurangan disonansi.
Dalam penelitian disonansi yang mendukung revisi ini, individu dengan harga
diri tenggi cenderung bertindak bertentangan dengan pandangan diri yang positif
(positive self-views), walaupun
penelitian yang menguji prediksi ini menghasilkan hasil yang beragam
(Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 110).
Kritikus lain, Claude Steele mengemukakan teori
afirmasi diri (self-affirmation theory)
yang menyatakan bahwa individu memiliki motif untuk menjaga moral citra diri (self-image) dan kecukupan akan adaptasi
(adaptive adequacy). Sehingga,
perubahan sikap yang meningkatkan disonansi (dissonance-induced attitude change) berlangsung karena disonansi
mengancam citra diri yang positif. Festinger mengemukakan dalam teori disonansi
kognitif bahwa individu terdorong (motivated)
untuk mengembalikan kognisi yang inkonsisten, Steele menjelaskan bahwa individu
justru terdorong untuk mempertegas (affirm)
integritas dari diri atau citra diri (Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss,
2009: 110).
Steele telah mengajukan penelitian yang
menunjukkan setelah ada peningkatan disonansi, partisipan yang diperbolehkan
untuk mempertegas nilai penting dalam citra dirinya, perubahan sikap karena disonansi
justru tidak terjadi. Penelitian lain menjelaskan bahwa membuat nilai-nilai
penting, walaupun nilai tersebut tidak mempertegas citra diri, dapat mengurangi
persepsi individu akan tingkat penting (importance)
dari tindakan berdasarkan disonansi, yang juga sesuai dengan teori dari
Festinger (Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 110-111). Dengan
kata lain, penguatan nilai yang mempertegas citra diri akan membuat orang tidak
mengubah tindakan mereka berdasarkan disonansi.
Dua kritikus lainnya, Joel Cooper & Russel
Fazio mengajukan gagasan bahwa pengalaman tidak nyaman (discomfort experience) dalam penelitian tentang disonansi bukan
karena inkonsistensi antara kognisi individu, tetapi karena perasaan
bertanggungjawab karena telah menciptakan konsekuensi yang bertentangan dengan
individu. Penelitian yang mendukung gagasan ini menunjukkan bahwa perubahan
sikap berbasis disonansi hanya terjadi ketika ada konsekuensi bertentangan yang
dihasilkan. Walaupun, penelitian terakhir menunjukkan adanya rangsangan dan
perubahan sikap akibat disonansi pada situasi penyesuaian disonansi dimana
individu tidak menemukan konsekuensi bertentangan. Dari berbagai pengajuan
revisi tersebut, gagasan awal dari Festinger dalam menjelaskan disonansi
kognitif tetap dapat dipertahankan dengan berbagai penelitian sejak 1995
(Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 111).
0 Response to "Kritik terhadap Teori Disonansi Kognitif"
Post a Comment