Sikap selalu mendapatkan status penting dalam
ilmu sosial ketika menjelaskan perilaku manusia, baik oleh orang awam maupun
oleh kalangan profesional (Fiske & Taylor, 1984 dalam West & Turner,
2010: 113). Sikap menunjukkan bagaimana manusia berusaha konsisten dalam
berperilaku, sehingga dari sikap, manusia diharapkan dapat diprediksi oleh
lingkungannya, maupun oleh peneliti. Walaupun sikap individu tidak dapat secara
langsung diamati, sikap dipercaya sebagai prediktor atau variabel independen
dari perilaku (behavior) orang lain
(O’Neill & Arendt, 2008 dalam West & Turner, 2010: 113).
Karena tingkat pentingnya tersebut, banyak
teori berusaha menjelaskan pembembentukan dan pengubahan sikap serta hubungan
antara sikap dengan kognisi, afeksi, dan kecenderungan berperilaku. Beberapa
akademisi dalam psikologi berpendapat bahwa pendekatan paling berpengaruh dalam
mempelajari sikap datang dari teori-teori tentang konsistensi kognitif (West
& Turner, 2010: 113).
Teori-teori yang membahas tentang konsistensi
menyatakan bahwa pikiran bekerja sebagai penghubung antara stimulus dan
respons. Teori-teori ini menjelaskan bahwa ketika manusia menerima stimulus
berbentuk informasi, pikiran mereka berusaha membuat pola atas stimulus
tersebut dengan stimuli lain yang sudah diterima sebelumnya. Jika stimulus baru
tidak sesuai atau inkonsisten dengan pola dari stimuli yang lama, manusia
tersebut akan merasa tidak nyaman (discomfort)
dalam pikiran dan perasaannya. Ketidaksesuaian yang menimbulkan discomfort ini terjadi pada kognisi
seseorang. Kognisi sendiri berarti pencarian pengetahuan (ways of knowing), kepercayaan, penilaian (judgement), dan pemikiran (tought)
(West & Turner, 2010: 113).
Salah satu teori mutakhir terkait dengan sikap
dan konsistensi individu adalah teori disonansi kognitif. Leon Festinger mulai
mengembangkan teori ini sejak 1957. Teori disonansi kognitif berfokus pada
konsekuensi dari ketidakcocokan antara dua kognisi yang saling berhubungan di
dalam diri individu. Teori ini membahas bagaimana persepsi dan kognisi
memengaruhi dan dipengaruhi oleh motivasi dan perasaan (emosi).
Penelitian-penelitian dalam scope teori
ini membahas bagaimana disonansi kognitif dapat mengubah sikap dan perilaku
(Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 58, 109, 110).
Festinger menyatakan disonansi terjadi ketika
dua elemen kognitif, tidak hanya secara logis, tetapi juga secara psikologis,
inkonsisten satu sama lain. Festinger menyatakan disonansi muncul ketika
“seseorang menemukan dirinya melakukan hal yang tidak cocok dengan apa yang
mereka tahu atau memegang satu pendapat yang tidak cocok dengan pendapat lain
yang juga mereka pegang” atau perasaan tidak nyaman hasil dari sikap, pikiran,
dan perilaku yang saling inkonsisten (West & Turner, 2010: 113; Festinger,
1957 dalam Griffin, 2012: 217; Werder dalam Littlejohn & Foss, 2009: 58).
Disonansi
kognitif adalah kondisi mental menyulitkan yang disebabkan oleh inkonsistensi
di antara dua kepercayaan seseorang atau antara kepercayaan dengan tindakan
seseorang (Griffin, 2012: 217). Disonansi ini memotivasi individu untuk reduksi
disonansi kognitif tersebut untuk mengembalikan dirinya ke dalam kondisi
konsonan, atau kondisi dimana dua elemen kognitif sudah saling konsisten dan
cocok (Werder dalam Littlejohn & Foss, 2009: 58).
Festinger
melihat disonansi sebagai dorongan yang menekan (aversive drive) yang mendorong manusia untuk menjadi lebih
konsisten. Tekanan dari disonansi memotivasi manusia untuk mengubah perilaku (behavior) atau mengubah kepercayaan
sebagai upaya untuk menghindari perasaan menekan dari disonansi. Semakin
penting isu tempat disonansi berada dan semakin tinggi ketidakcocokan antara
perilaku dan kepercayaan manusia, semakin tinggi magnitudo disonansi yang akan
dirasakan (Griffin, 2012: 217).
Berdasarkan
konsep disonansi kognitif, Festinger mengembangkan teori disonansi kognitif
yang menjelaskan bahwa disonansi adalah perasaan tidak nyaman yang mendorong
orang untuk mengambil langkah melakukan reduksi disonansi tersebut. Roger Brown
(1965) menjelaskan bahwa disonansi adalah nama untuk ketidakseimbangan (disequilibrium) dari elemen-elemen
terkait sikap dan konsonansi adalah nama untuk keseimbangan atau equilibrium
atas elemen-elemen terkait sikap. Elemen yang dimaksud dalam penjelasan Brown
bisa mencakup kognisi dengan kognisi maupun kognisi dengan perilaku. Brown
menjelaskan upaya reduksi disonansi kognitif dapat dilihat sebagai upaya
mencapai konsonansi (West & Turner, 2010: 113).
Perloff
(2010: 238-239) merangkum berbagai definisi tentang disonansi kognitif dan
menjelaskan bahwa disonansi terjadi ketika individu melakukan salah satu dari:
1. Mempercayai dua pikiran yang secara jelas
bertentangan (holds two clearly incongruent thoughts.
2. Secara sadar melaksanakan perilaku yang
inkonsisten dengan sikapnya.
3. Mengambil keputusan yang mengenyampingkan
alternatif yang diinginkan.
4. Mengeluarkan usaha untuk berpartisipasi dalam
kegiatan yang ternyata menjadi tidak sesuai harapan atau tidak ideal.
5. Secara umum tidak menemukan justifikasi
psikologis yang cukup untuk sikap dan perilaku yang dilaksanakan.
0 Response to "Sikap dan Disonansi Kognitif"
Post a Comment