Analisa Framing


Apa pun yang ditampilkan oleh media, tentulah ada maksud yang ingin dicapai, selain tujuan-tujuan entah itu komersial, ideologis, atau sekadar rutin. Dalam kajian mengenai hal-hal apa saja yang mempengaruhi isi media Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reeese dalam buku mereka Mediating the Message Theories of Influences on Mass Media Content ingin membalik berbagai tradisi penelitian mengenai efek media selama ini, dengan menyatakan bahwa isi media pun dipengaruhi oleh banyak faktor. Mereka mengemukakan lima hipotesis untuk menjelaskan asumsi itu, bahwa:

- Isi sebagai cerminan realitas sosial dengan sedikit atau tanpa distorsi (mirror approach), yakni: media secara akurat menyampaikan realitas yang ada di masyarakat, namun tetap saja realitas itu adalah hasil kompromi antara mereka yang menjual informasi itu dan pembeli informasi tersebut.
- Isi dipengaruhi oleh sosialisasi dan perilaku para pekerja (communicator centered), yakni: ada faktor-faktor psikologis yang intrinsik di kalangan para pengelola media sehingga realitas sosial yang ditampilkan merupakan hasil kesekapatan berbagai kelompok sosial dan itulah yang dijadikan norma. Bila ada hal-hal baru atau menyimpang dalam masyarakat akan diperlakukan sebagai eksentrik dan patut diabaikan .
- Isi dipengaruhi oleh rutin di media (organizational aprroach), yakni: para pekerja di media bekerja di bawah pengaruh sistem dan struktur yang dibangun oleh organisasi. Misalnya, menulis berita harus dalam struktur piramida terbalik.
- Isi dipengaruhi oleh berbagai lembaga sosial dan kekuatan lain (external factors), yakni: kekuatan ekonomi dan budaya, maupun khalayak menentukan isi media. Pendekatan kekuatan pasar, misalnya memaksa komunikator memenuhi selera khalayak. Atau pendekatan tanggungjawab sosial misalnya, cenderung memenuhi apa yang menjadi kebutuhan khalayak ketimbang apa yang mereka inginkan.


Isi media merupakan fungsi posisi ideologi dan menjaga status quo (hegemony approach), yakni: pendekatan yang berpandangan bahwa isi media dipengaruhi oleh mereka yang berada di kekuasaan dalam masyarakat. Sebagai bagian dari sistem ekonomi yang dikendalikan oleh kekuatan ekonomi, media massa menjunjung sebuah ideologi yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan tersebut, demi memastikan bahwa masyarakat akan tetap dalam formatnya seperti sekarang.

Dengan lima kategori itu Shoemaker dan Reese kemudian menyusun apa yang disebut sebagai model hierarchy of influences on media content yang mencoba menjelaskan bahwa pengaruh terhadap isi media itu berpusar pada lingkaran terpusat yang terdiri dari lima lapisan mulai dari faktor individual, rutin, organisasi, faktor eksternal, dan ideologi. (Shoemaker and Reese, 1996: 6-7)

Melalui modelnya itu keduanya ingin mengemukakan bahwa pandangan yang selama ini meyakini bahwa hanya individu yang dominan mempengaruhi isi media tidaklah tepat karena ada empat faktor lainnya. Mereka juga ingin memberikan alternatif bagi studi efek media yang selama ini berlangsung, yang senantiasa menjadikan media (sebagai variabel independen) yang mempengaruhi khalayak (sebagai variabel dependen). Dengan model ini terlihat bahwa media ternyata juga merupakan variabel dependen yang dipengaruhi berbagai faktor. Dan, penelitian mengenai efek terhadap isi media dapat dilakukan pada berbagai lapisan pengaruh tersebut.

Level Individu. Pada lapisan ini sejumlah faktor intrinsik yang berpengaruh pada para wartawan adalah: 1) latar belakang kepribadian dan profesionalnya, misalnya pendidikannya, lama bekerja dst; 2) sikap terhadap nilai-nilai dan keyakinannya yang merupakan akibat dari latar belakang atau pengalamanya, misanya orientasi politik, agama dst; 3) apakah para wartawan punya konsep dan orientasi mengenai profesinya, misalnya, apakah harus bersikap netral dalam memberitakan atau aktif mengembangkan berita, apakah akan patuh pada kode etik dst.

Level Rutinitas Media. Yang dimaksud pada level ini adalah pola kegiatan yang sudah terpola dan berulang-ulang dikerjakan dikerjakan oleh para professional di media. Misalnya peran gatekeeper untuk menyeleksi berbagai informasi yang masuk dan mana-mana yang layak jadi berita. Rutinitas ini dilakukan dalam upaya mencapai efisiensi dan efektifitas dalam bekerja, dan itu semua melibatkan faktor-faktor seperti sources/suppliers dan khalayak/konsumen. Rutinitas ini sangat mempengaruhi isi media, karena ia membentuk sebuah lingkungan langsung tempat para pekerja media melaksanakan pekerjaan mereka.

Level Organisasi. Bagaimana pun berbagai struktur dalam organisasi mengatur tugas dan kewenangan orang-orang yang berada dan mengisi struktur tersebut berpengaruh terhadap isi media. Dengan demikian struktur organisasi menentukan siapa yang membuat kebijakan isi, siapa yang harus melaksanakan dst. Termasuk di situ adalah apakah pemilik juga mempengaruhi isi media, apakah bagian niaga juga mempengaruhi isi media dst.

Level Pengaruh Eksternal. Isi media juga dapat dipengaruhi oleh pihak-pihak yang berada di luar media, mereka itu bisa berupa: sumber informasi (nara sumber, Humas perusahaan dll), sumber penerimaan keuangan (pemasang iklan, khalayak), berbagai lembaga lain (bisnis, pemerintah, LSM, agama), situasi ekonomi, juga perkembangan teknologi (missal internet)

Level Ideologi. Ideologi dalam pengertian ini adalah sebuah mekanisme simbolik yang berperan sebagai faktor pengikat dan perekat dalam masyarakat. Ideologi itu dapat berupa seperangkat nilai-nilai dan keyakinan, dan melaluinya masyarakat melihat dan menilai dunia dan dari situ kita bertindak. Ideologi bukanlah sesuatu yang berada pada level individu, melainkan ada di tingkat masyarakat, atau sebuah total structure. Dalam praktek, ideologi ini berpengaruh misalnya ketika sebuah media berusaha mendelegitimasi kelompok lain yang tidak seideologi dengannya, misalnya.


Shoemaker dan Reese mencoba menjelaskan bahwa meski ada pengaruh individu pada isi media, namun pengaruh itu kalah kuat dibandingkan dengan rutin di media. Demikian pun rutin di media kalah pengaruhnya dibandingkan dengan struktur organisasi dalam menentukan isi media. Dan orang-orang di struktur organisasi masih dapat dipengaruhi oleh mereka yang berada di luar media. Dan pada akhirnya idelogi yang paling kuat dan luas mempengaruhi keseluruhan proses menentukan isi media tersebut.

Persuasi

Persuasi adalah tindakan untuk menciptakan, mendukung, atau mengubah kepercayaan, sikap, atau perilaku dari individu. Persuasi adalah salah satu motivasi penting yang membuat manusia berkomunikasi dan juga sekaligus menjadi dasar bagi ilmu komunikasi (Seiter dalam Littlejohn & Foss, 2009: 745).

Selain definisi yang diajukan Littlejohn & Foss, ada banyak definisi tentang persuasi. Paling tidak ada empat definisi utama tentang persuasi yang dirangkum oleh Richard Perloff (2010: 11), mencakup:
1. Proses komunikasi dimana komunikator berusaha mendapatkan respons yang diinginkan dari penerima pesannya (Andersen, 1971 dalam Perloff, 2010: 11).
2. Usaha dengan kesadaran atau kesengajaan oleh seseorang untuk mengubah sikap (attitudes), kepercayaan (beliefs), atau perilaku (behaviors) dari individu lain atau kelompok individu lain melalui pengiriman atau transmisi pesan tertentu (Bettinghaus & Cody, 1987 dalam Perloff, 2010: 11).
3. Aktivitas simbolik yang bertujuan untuk memberi dampak (effect) dalam internalisasi atau penerimaan secara sukarela (voluntary acceptance) dari keadaan kognitif baru atau pola dari perilaku yang tampak (overt behavior) melalui pertukaran pesan (Smith, 1982 dalam Perloff, 2010: 11).
4. Usaha berhasil yang diniatkan (successful intentional effort) dalam memengaruhi keadaan mental orang lain melalui komunikasi dalam lingkungan dimana orang yang diyakinkan (persuadee) memiliki kebebasan dalam tingkat tertentu (O’Keefe, 1990 dalam Perloff, 2010: 11).

Perloff kemudian menggabungkan keempat batasan tersebut dan mendefinisikan persuasi sebagai proses simbolik dimana komunikator mencoba meyakinkan orang lain untuk mengubah sikap (attitudes) maupun perilaku (behaviors) terkait suatu isu melalui transmisi atau penyaluran pesan dalam situasi yang memungkinkan kebebasan memilih (atmosphere of free choice) (2010: 12). Dia juga menjelaskan, persuasi sebagai ilmu, mempelajari tentang sikap (attitudes) dan bagaimana mengubahnya (2010: 3).

Persuasi dalam Reduksi Disonansi Kognitif

Teori disonansi kognitif membuka peluang bagi persuasi dalam keadaan disonansi. Teori ini menyarankan untuk dapat mempersuasi seseorang, perlu ada strategi yang berfokus pada inkonsistensi dan juga penyediaan akan perilaku baru yang memungkinkan adanya konsistensi atau konsonansi. Teori ini menjelaskan ketika orang berada dalam disonansi mereka cenderung untuk mengurangi disonansi kognitif mereka dengan mencari persuasi dari orang lain yang dapat mengurangi disonansi kognitif mereka. Persuasi yang dibutuhkan ini dapat diterima dari orang lain atau dari diri sendiri (self-persuasion) (West & Turner, 2010: 114).

Persuasi yang diterima oleh orang lain atau yang dilakukan sendiri perlu masuk ke dalam salah satu upaya berikut yang bertujuan untuk mengurangi disonansi kognitif (Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 110):
  1. Menambah kognisi yang konsonan
  2. Menghilangkan kognisi yang disonan
  3. Meningkatkan importansi dari kognisi yang konsonan
  4. Mengurangi importansi dari kognisi yang disonan
  5. Mengubah sikap (tidak memanipulasi kognisi atau importansi sama sekali)
Dalam persuasi yang bertujuan untuk mengubah sikap yang didorong oleh disonansi kognitif, sikap yang berubah cenderung mengikuti kognisi yang paling sulit untuk diubah atau dikalahkan oleh kognisi lain. Riset dalam teori ini banyak mengasumsikan perilaku terakhir dari individu biasanya perilaku yang paling sulit diubah (Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 110).

West & Turner (2010: 120) juga berpendapat ada beberapa upaya dalam mengurangi disonansi, yaitu:
1.      Menjauhi kognisi dari luar diri mereka yang bertentangan dengan kognisi yang ingin dipertahankan.
2.      Mengubah sikap untuk menyesuaikan tindakan yang diambil
3.      Mengubah tindakan yang diambil untuk menyesuaikan dengan sikap yang ingin dipertahankan
4.      Mencari peyakinan (reassurance) setelah membuat keputusan sulit untuk bertindak.

Persuasi yang diberikan kepada atau yang dilakukan sendiri oleh individu dapat juga bertujuan untuk mencapai salah satu dari empat upaya tersebut, selain juga untuk mencapai salah satu dari lima upaya yang sudah disampaikan Harmon-Jones (dalam Littlejohn & Foss, 2009: 110).

Banyak penelitian dalam teori ini berfokus pada persuasi dan pengambilan keputusan. Penelitian yang dibahas banyak menyangkut tentang kemunculan disonansi setelah individu mengambil keputusan yang disebut oleh West & Turner (2010: 120) sebagai fenomena pascakeputusan (postdecision phenomenon). Bentuk dari fenomena ini disebut juga sebagai penyeselan pembeli (buyer’s remorse). Penyesalan pembeli mengacu pada disonansi yang individu rasakan setelah memutuskan untuk membeli barang berharga (large purchase).

Donnelly & Ivancevich (1970 dalam West & Turner, 2010: 120-121) mengadakan penelitian terhadap dua kelompok yang sudah menandatangani kontrak pembelian mobil, namun harus menunggu penerimaan mobil tersebut. Kelompok pertama mendapatkan peyakinan bahwa mereka telah membeli mobil yang tepat dengan dihubungi dua kali, sedangkan kelompok kedua tidak dihubungi sama sekali dalam waktu tunggu antara kontrak dengan penerimaan mobil mereka. Hasil dari penelitian ini menunjukkan ada angka dua kali lipat pembatalan mobil pada kelompok yang yang tidak dihubungi ketimbang kelompok yang dihubungi. Penelitian ini mendukung adanya disonansi setelah membeli barang mahal dalam bentuk penyesalan pembeli sebagai fenomena pascakeputusan. Penelitian Donnelly & Ivancevich juga menunjukkan informasi yang mendukung keputusan yang diambil dapat mengurangi disonansi yang muncul setelah keputusan tersebut diambil (West & Turner, 2010: 120-121).


Penelitian Simmons, Webb, & Brandon (2004) mempelajari apakah prinsip disonansi kognitif dapat mendukung mahasiswa berhenti merokok. Mereka memberikan intervensi dalam bentuk experimen (experimental learning intervention) dimana responden mengalami proses pembelajaran. 144 mahasiswa yang merokok diberi tugas untuk menciptakan video pendidikan tentang risiko merokok atau tentang berhenti merokok. Para peneliti menemukan intensi atau niat untuk berhenti merokok dari mahasiswa ini meningkat seiring mereka membuat video tersebut (West & Turner, 2010: 121).

Kritik terhadap Teori Disonansi Kognitif

Elliot Aronson, salah seorang kritikus teori ini, menjelaskan bahwa riset Festinger tentang minimal justification sebenarnya meneliti tentang penjagaan harga diri (self-esteem maintenance) yang sebenarnya terkait dengan konsep diri (self-concept). Dia menyatakan, semakin tinggi harga diri seseorang, semakin besar disonansi yang dirasakan ketika diminta melakukan counterattitudinal advocacy (Aronson 1969 dalam Griffin, 2012: 223).

Lebih lanjut, Aronson mengajukan pendapat bahwa disonansi bukan karena inkonsistensi di antara kognisi, melainkan karena inkonsistensi psikologis. Dia menjelaskan disonansi terjadi ketika seseorang bertindak sesuatu yang melanggar konsep dirinya (self-concept). Aronson menjelaskan bahwa kebanyakan manusia memiliki konsep diri yang positif, disonansi cenderung dialami ketika seseorang bertindak negatif, seperti bertindak secara inkompeten (tidak mampu mencapai target keahlian tertentu), irrasional (tidak masuk akal), atau tidak bermoral (Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 110; Aronson, 1969 dalam Griffin, 2012: 223).

Revisi dari Aronson ini memprediksi bahwa individu dengan harga diri rendah (low self-esteem) cenderung merespons dengan pengurangan disonansi yang lebih rendah ketimbang individu dengan harga diri tinggi (high self-esteem) yang merespons dengan lebih banyak pengurangan disonansi. Dalam penelitian disonansi yang mendukung revisi ini, individu dengan harga diri tenggi cenderung bertindak bertentangan dengan pandangan diri yang positif (positive self-views), walaupun penelitian yang menguji prediksi ini menghasilkan hasil yang beragam (Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 110).

Kritikus lain, Claude Steele mengemukakan teori afirmasi diri (self-affirmation theory) yang menyatakan bahwa individu memiliki motif untuk menjaga moral citra diri (self-image) dan kecukupan akan adaptasi (adaptive adequacy). Sehingga, perubahan sikap yang meningkatkan disonansi (dissonance-induced attitude change) berlangsung karena disonansi mengancam citra diri yang positif. Festinger mengemukakan dalam teori disonansi kognitif bahwa individu terdorong (motivated) untuk mengembalikan kognisi yang inkonsisten, Steele menjelaskan bahwa individu justru terdorong untuk mempertegas (affirm) integritas dari diri atau citra diri (Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 110).

Steele telah mengajukan penelitian yang menunjukkan setelah ada peningkatan disonansi, partisipan yang diperbolehkan untuk mempertegas nilai penting dalam citra dirinya, perubahan sikap karena disonansi justru tidak terjadi. Penelitian lain menjelaskan bahwa membuat nilai-nilai penting, walaupun nilai tersebut tidak mempertegas citra diri, dapat mengurangi persepsi individu akan tingkat penting (importance) dari tindakan berdasarkan disonansi, yang juga sesuai dengan teori dari Festinger (Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 110-111). Dengan kata lain, penguatan nilai yang mempertegas citra diri akan membuat orang tidak mengubah tindakan mereka berdasarkan disonansi.


Dua kritikus lainnya, Joel Cooper & Russel Fazio mengajukan gagasan bahwa pengalaman tidak nyaman (discomfort experience) dalam penelitian tentang disonansi bukan karena inkonsistensi antara kognisi individu, tetapi karena perasaan bertanggungjawab karena telah menciptakan konsekuensi yang bertentangan dengan individu. Penelitian yang mendukung gagasan ini menunjukkan bahwa perubahan sikap berbasis disonansi hanya terjadi ketika ada konsekuensi bertentangan yang dihasilkan. Walaupun, penelitian terakhir menunjukkan adanya rangsangan dan perubahan sikap akibat disonansi pada situasi penyesuaian disonansi dimana individu tidak menemukan konsekuensi bertentangan. Dari berbagai pengajuan revisi tersebut, gagasan awal dari Festinger dalam menjelaskan disonansi kognitif tetap dapat dipertahankan dengan berbagai penelitian sejak 1995 (Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 111).

Justifikasi Minimal disonansi kognitif

Salah satu penelitian dan pendapat yang menarik tentang disonansi kognitif muncul dari Festinger. Dia meneliti dan menyimpulkan apa yang dia sebut sebagai justifikasi minimal, yang artinya pemberian insentif paling rendah (least amount of incentive necessary) untuk mendapatkan kepatuhan (compliance) dari orang lain (West & Turner, 2010:119).

Festinger (1957 dalam West & Turner, 2010:119) menjelaskan bahwa jika seseorang ingin mendapatkan perubahan dari individu demi kepatuhan atas nama masyarakat (private change in addition to mere public compliance), cara terbaik dalam melakukannya adalah dengan memberikan penghargaan atau hukuman (reward or punishment) yang minimal untuk mendapatkan kepatuhan.
Festinger & Carlsmith (1959 dalam West & Turner, 2010:119) mengadakan penelitian yang menunjukkan adanya justifikasi atau pembenaran minimal. Mereka menyatakan ketika seseorang melakukan sesuatu atas dasar justifikasi minimal, mereka merasakan disonansi, ketimbang dia melakukan sesuatu untuk justifikasi yang lebih besar. Justifikasi yang dimaksud adalah imbalan (reward) dan dalam penelitian mereka, berbentuk uang.

Dalam penelitian Festinger & Carlsmith, ketika seseorang harus berbohong karena uang yang besar (USD 20), mereka akan memiliki justifikasi (atau rasionali dalam penjelasan Zimbardo, Ebbesen, & Maslach) bahwa mereka melakukannya untuk uang, tetapi ketika Festinger & Carlsmith meminta partisipan untuk berbohong dengan imbalan uang yang kecil (USD 1), mereka tidak memiliki justifikasi yang substansial atau cukup untuk menghubungkan sikap dengan perilaku dalam hubungan konsonan, namun hanya memiliki justifikasi minimal (Festinger & Carlsmith dalam West & Turner, 2010: 120).


Ketika individu menghadapi justifikasi minimal, yaitu justifikasi yang tidak mencukupi untuk membuat konsonansi, dia akan mengalami disonansi. Menghadapi disonansi ini, individu tersebut akan mengurangi disonansinya dan meningkatkan konsonansinya dengan mengubah kognisi atau sikapnya terhadap perilaku yang dilakukan. Penjelasan ini mendukung adanya justifikasi minimal untuk mendapatkan kepatuhan (compliance) dari individu (Festinger & Carlsmith dalam West & Turner, 2010: 120).

Penerimaan Informasi (Persepsi) dalam Reduksi Disonansi Kognitif

Persepsi adalah proses mendapatkan informasi yang dialami individu. Dalam strategi untuk mengurangi disonansi dalam bentuk perubahan sikap atau kognisi, ada strategi penerimaan informasi yang digunakan. Strategi tersebut mengacu pada pemilihan persepsi yang digunakan untuk memastikan informasi yang diterima akan mengurangi disonansi. Berikut adalah empat strategi persepsi dalam mengurangi disonansi (West & Turner, 2010:118-119):

1.      Selective exposure (pemilihan paparan), metode mengurangi disonansi dengan mencari informasi baru yang konsonan dengan tindakan maupun kognisi yang diacu. Secara tidak langsung, teori disonansi kognitif juga menyatakan manusia cenderung menghindari informasi yang meningkatkan disonansi dan cenderung mencari informasi yang meningkatkan konsonansi.
2.      Selective attention (pemberian perhatian berdasarkan pemilihan), metode mengurangi disonansi dengan memberi perhatian pada informasi yang konsonan dengan tindakan maupun kognisi yang diacu. Selective attention adalah lanjutan dari selective exposure, pada proses untuk terus memperhatikan informasi konsonan yang sudah ditemukan. Teori ini secara tidak langsung juga menjelaskan manusia cenderung mengabaikan atau tidak memperhatikan informasi yang dapat membuat mereka mengalami disonansi.
3.      Selective interpretation, metode mengurangi disonansi dengan memaknai informasi ambigu sedemikian hingga informasi tersebut bermakna konsisten dengan tindakan maupun kognisi yang diacu. Informasi ambigu yang dimaksud adalah informasi yang belum menunjukkan disonansi sekaligus konsonansi terhadap perilaku atau kognisi yang diacu. Ada banyak informasi yang tidak  secara langsung mengacu pada konsonansi, tetapi individu cenderung memaknai informasi ambigu tersebut sebagai informasi yang konsonan dengan tindakan maupun kognisi mereka, bahkan ketika informasi ambigu tersebut dapat juga dimaknai sebagai informasi yang disonan. Teori ini menjelaskan suatu informasi bisa diartikan sedemikian rupa untuk memastikan individu dapat mengurangi disonansi dan meningkatkan konsonansi.

4.      Selective retention, metode mengurangi disonansi dengan mengingat maupun mempelajari informasi yang konsonan dengan tindakan atau kognisi yang diacu. Proses mengingat dan mempelajari informasi konsonan ini dilakukan individu dalam kemampuan dan dukungan yang lebih ketimbang mengingat dan mempelajari informasi yang disonan. Selective retention juga mengacu kecenderungan orang untuk mengingat dengan mudah informasi atau ingatan yang konsonan sekaligus melupakan dengan mudah informasi atau ingatan yang disonan. Penelitian Lingle & Ostrom (1981 dalam West & Turner, 2010:119) mendukung manfaat selective retention bagi konsonansi. Penelitian mereka menunjukkan sikap kita terhadap suatu objek atau individu akan memilih memori kita terhadap objek tersebut, sehingga memori yang muncul sesuai dengan sikap kita terhadap objek atau individu tersebut.

Disonansi Kognitif setelah Mengambil Keputusan (Postdecision Dissonance)

Berdasarkan Festinger (1969), keputusan yang berat dapat menciptakan tensi internal dalam jumlah besar setelah keputusan tersebut diambil. Dia menyodorkan gagasan tentang suatu fenomena yang disebutnya sebagai postdecision dissonance, yang didefinisikan oleh Griffin (2012: 220) sebagai keraguan kuat yang dialami setelah membuat keputusan yang penting sekaligus  Tiga faktor yang meningkatkan postdecision dissonance mencakup:

1.      Tingginya im portansi isu.
2.      Lamanya penundaan keputusan yang dialami individu dalam memilih dua pilihan yang sama-sama menarik (two equally attractive options).
3.      Tingginya kesulitan yang dibutuhkan untuk membalik keputusan yang sudah dibuat.


Ketika salah satu faktor tersebut ada, seorang individu akan mengalami penderitaan batin dalam memastikan bahwa dia sudah membuat pilihan yang tepat (Festinger, 1969 dalam Griffin, 2012: 220). Griffin berpendapat disonansi pascakeputusan muncul karena ada perasaan was-was maupun adanya proses berpikir ulang (second tought) setelah pilihan yang ketat diambil. Proses disonansi tersebut mendorong manusia untuk mencari informasi yang memberikan peyakinan kembali (reassurance) dan juga mencari dukungan sosial untuk keputusan tersebut (Griffin, 2012: 220).

Disonansi Berdasarkan Tindakan (Action-Based Model of Cognitive Dissonance)

Eddie Harmon-Jones menambahkan satu revisi penting dalam teori ini yang juga terkait dalam pengambilan keputusan (decision), yaitu terkait kognisi seperti apa yang dapat memunculkan disonansi. Dia menjabarkan model berbasis tindakan (action-based model of cognitive dissonance). Model ini menjelaskan tidak semua kognisi dapat menciptakan disonansi, tetapi hanya kognisi yang berkaitan atau melatari tindakan (action) (Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 111).

Model berbasis tindakan menjelaskan kognisi-kognisi yang dapat ikut campur (interfere) atau memengaruhi secara langsung terhadap suatu tindakan (action) yang apabila telah diputuskan oleh individu dapat menjadi tindakan yang efektif dan tak berkonflik (unconflicted). Disonansi pada kognisi-kognisi yang berpengaruh terhadap tindakan, menciptakan keadaan bertolak belakang (aversive state) di antara kognisi-kognisi terkait (Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 111)

Berdasarkan model ini, pengurangan disonansi adalah upaya menghilangkan disonansi dengan membawa konsonansi kepada kognisi-kognisi yang melatari suatu tindakan. Model ini menjelaskan disonansi kognitif menghambat tindakan yang efektif dan tak berkonflik, sehingga konsonansi kognitif, sebaliknya, adalah upaya untuk memfasilitasi untuk memutuskan tindakan yang efektif dan tak berkonflik (Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 111).


Harmon-Jones mendasari modelnya pada penelitian-penelitian yang menunjukkan semakin besar kecenderungan untuk bertindak, semakin berkurang disonansi dalam individu. Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan ketika tingkat kecenderungan bertindak (degree of action orientation) meningkat, tingkat pengurangan disonansi (degree of dissonance reduction) juga semakin meningkat (Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 111). Model berbasis tindakan menjelaskan semakin tinggi suatu kognisi mengarah pada tindakan, semakin tinggi pengurangan disonansinya. Konsonansi dapat diartikan sebagai kecenderungan kognisi-kognisi untuk mencapai suatu tindakan yang efektif dan tak berkonflik.

Disonansi Kognitif dalam Pengambilan Keputusan (Decision)

Setelah mengambil keputusan, segala kondisi kognisi yang mengarah atau mendukung (favor) alternatif terpilih adalah kognisi yang konsonan dengan keputusan, sedangkan kognisi yang mendukung alternatif yang tidak dipilih disebut kognisi disonan. Semakin besar jumlah dan semakin penting suatu kognisi disonan akan membuat disonansi yang dialami individu semakin besar pula, apalagi jika jumlah dan tingkat penting (importance) dari kognisi konsonan juga semakin kecil (Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 110).

Dalam situasi yang menuntut pilihan, disonan kognitif cenderung semakin besar ketika alternatif-alternatif pilihan yang ada sama-sama mirip dalam tingkat kemenarikannya (closer in attractiveness), walaupun di antara alternatif tersebut tetap ada karakteristik yang cukup membedakan di antara mereka. Dalam situasi pilihan, disonansi dapat dikurangi dengan meyakinkan bahwa alternatif yang dipilih terlihat lebih menarik dan/atau meyakinkan alternatif yang ditolak terlihat kurang menarik (Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 110).


Disonansi meningkat ketika seseorang bertindak dalam pertentangan (contrary) dengan sikapnya, terutama ketika tidak ada orang lain yang memberi dukungan (encouragement) atau imbalan (incentive) dalam tindakannya tersebut. Disonansi juga meningkat ketika individu terpapar informasi yang tidak konsisten dengan kepercayaan maupun sikapnya. Dalam tindakan yang bertentangan dengan sikap, individu dapat mengurangi disonansi dengan mengganti sikap mereka agar sesuai dengan tindakan mereka (Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 110).

Magnitudo Disonansi

Teori disonansi kognitif tidak hanya membahas tentang kecenderungan individu dalam bertindak ketika mengalami disonansi, tetapi teori ini juga mengukur seberapa besar disonansi yang mereka alami, sehingga mereka dapat bertindak sedemikian rupa. Konsep pengukuran disonansi dalam teori ini disebut sebagai magnitudo disonansi yang diajukan oleh West & Turner (2010:117) berdasarkan kajian dari Zimbardo, Ebbesen, & Maslach (1977 dalam West & Turner, 2010: 117).
Magnitudo disonansi adalah jumlah kuantitatif dari disonansi yang dialami individu. Magnitudo ini akan menentukan tindakan maupun kognisi yang akan diambil untuk mengurangi disonansi (West & Turner, 2010:117).

Zimbardo, Ebbesen, & Maslach (1977 dalam West &  Turner, 2010: 117) menjelaskan tiga faktor yang berpengaruh terhadap magnitudo disonansi, yaitu tingkat penting (importance), rasio disonansi, dan rasionali (rationale).

Importansi (importance) mengacu kepada seberapa signifikan isu yang dialami dalam disonansi kognitif yang berpengaruh pada seberapa besar disonansi yang dirasakan. Semakin besar importansi dari suatu isu, semakin besar juga magnitudo disonansi yang dialami (West & Turner, 2010:117).

Rasio disonansi mengacu pada perbandingan antara kognisi yang disonan dengan kognisi yang konsonan. Rasio dimana kognisi yang disonan lebih besar dibanding kognisi yang konsonan, menimbulkan disonansi kognitif West & Turner, 2010:117). Apabila kognisi yang konsonan seimbang dengan kognisi yang disonan maupun apabila kognisi yang konsonan lebih besar ketimbang kognisi yang disonan, tidak akan terjadi disonansi kognitif.


Rasionali (rationale) mengacu pada alasan yang menjadi pembenaran atas inkonsistensi yang dialami individu. Rasionali juga mengacu pada alasan yang digunakan individu untuk menjelaskan bahwa inkonsistensi wajar terjadi, sehingga disonansi kognitif dapat dihindari oleh individu tersebut (West & Turner, 2010:117). Semakin banyak rasionali yang digunakan individu untuk menjelaskan adanya inkonsistensi, semakin individu tersebut tidak mengalami disonansi kognitif. Sebaliknya, ketika individu tidak dapat menjelaskan mengapa inkonsistensi terjadi, individu tersebut akan mengalami disonansi kognitif yang lebih tinggi.

Sikap dan Disonansi Kognitif

Sikap selalu mendapatkan status penting dalam ilmu sosial ketika menjelaskan perilaku manusia, baik oleh orang awam maupun oleh kalangan profesional (Fiske & Taylor, 1984 dalam West & Turner, 2010: 113). Sikap menunjukkan bagaimana manusia berusaha konsisten dalam berperilaku, sehingga dari sikap, manusia diharapkan dapat diprediksi oleh lingkungannya, maupun oleh peneliti. Walaupun sikap individu tidak dapat secara langsung diamati, sikap dipercaya sebagai prediktor atau variabel independen dari perilaku (behavior) orang lain (O’Neill & Arendt, 2008 dalam West & Turner, 2010: 113).

Karena tingkat pentingnya tersebut, banyak teori berusaha menjelaskan pembembentukan dan pengubahan sikap serta hubungan antara sikap dengan kognisi, afeksi, dan kecenderungan berperilaku. Beberapa akademisi dalam psikologi berpendapat bahwa pendekatan paling berpengaruh dalam mempelajari sikap datang dari teori-teori tentang konsistensi kognitif (West & Turner, 2010: 113).

Teori-teori yang membahas tentang konsistensi menyatakan bahwa pikiran bekerja sebagai penghubung antara stimulus dan respons. Teori-teori ini menjelaskan bahwa ketika manusia menerima stimulus berbentuk informasi, pikiran mereka berusaha membuat pola atas stimulus tersebut dengan stimuli lain yang sudah diterima sebelumnya. Jika stimulus baru tidak sesuai atau inkonsisten dengan pola dari stimuli yang lama, manusia tersebut akan merasa tidak nyaman (discomfort) dalam pikiran dan perasaannya. Ketidaksesuaian yang menimbulkan discomfort ini terjadi pada kognisi seseorang. Kognisi sendiri berarti pencarian pengetahuan (ways of knowing), kepercayaan, penilaian (judgement), dan pemikiran (tought) (West & Turner, 2010: 113).
Salah satu teori mutakhir terkait dengan sikap dan konsistensi individu adalah teori disonansi kognitif. Leon Festinger mulai mengembangkan teori ini sejak 1957. Teori disonansi kognitif berfokus pada konsekuensi dari ketidakcocokan antara dua kognisi yang saling berhubungan di dalam diri individu. Teori ini membahas bagaimana persepsi dan kognisi memengaruhi dan dipengaruhi oleh motivasi dan perasaan (emosi). Penelitian-penelitian dalam scope teori ini membahas bagaimana disonansi kognitif dapat mengubah sikap dan perilaku (Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 58, 109, 110).

Festinger menyatakan disonansi terjadi ketika dua elemen kognitif, tidak hanya secara logis, tetapi juga secara psikologis, inkonsisten satu sama lain. Festinger menyatakan disonansi muncul ketika “seseorang menemukan dirinya melakukan hal yang tidak cocok dengan apa yang mereka tahu atau memegang satu pendapat yang tidak cocok dengan pendapat lain yang juga mereka pegang” atau perasaan tidak nyaman hasil dari sikap, pikiran, dan perilaku yang saling inkonsisten (West & Turner, 2010: 113; Festinger, 1957 dalam Griffin, 2012: 217; Werder dalam Littlejohn & Foss, 2009: 58).

Disonansi kognitif adalah kondisi mental menyulitkan yang disebabkan oleh inkonsistensi di antara dua kepercayaan seseorang atau antara kepercayaan dengan tindakan seseorang (Griffin, 2012: 217). Disonansi ini memotivasi individu untuk reduksi disonansi kognitif tersebut untuk mengembalikan dirinya ke dalam kondisi konsonan, atau kondisi dimana dua elemen kognitif sudah saling konsisten dan cocok (Werder dalam Littlejohn & Foss, 2009: 58).

Festinger melihat disonansi sebagai dorongan yang menekan (aversive drive) yang mendorong manusia untuk menjadi lebih konsisten. Tekanan dari disonansi memotivasi manusia untuk mengubah perilaku (behavior) atau mengubah kepercayaan sebagai upaya untuk menghindari perasaan menekan dari disonansi. Semakin penting isu tempat disonansi berada dan semakin tinggi ketidakcocokan antara perilaku dan kepercayaan manusia, semakin tinggi magnitudo disonansi yang akan dirasakan (Griffin, 2012: 217).

Berdasarkan konsep disonansi kognitif, Festinger mengembangkan teori disonansi kognitif yang menjelaskan bahwa disonansi adalah perasaan tidak nyaman yang mendorong orang untuk mengambil langkah melakukan reduksi disonansi tersebut. Roger Brown (1965) menjelaskan bahwa disonansi adalah nama untuk ketidakseimbangan (disequilibrium) dari elemen-elemen terkait sikap dan konsonansi adalah nama untuk keseimbangan atau equilibrium atas elemen-elemen terkait sikap. Elemen yang dimaksud dalam penjelasan Brown bisa mencakup kognisi dengan kognisi maupun kognisi dengan perilaku. Brown menjelaskan upaya reduksi disonansi kognitif dapat dilihat sebagai upaya mencapai konsonansi (West & Turner, 2010: 113).

Perloff (2010: 238-239) merangkum berbagai definisi tentang disonansi kognitif dan menjelaskan bahwa disonansi terjadi ketika individu melakukan salah satu dari:

1.      Mempercayai dua pikiran yang secara jelas bertentangan (holds two clearly incongruent thoughts.
2.      Secara sadar melaksanakan perilaku yang inkonsisten dengan sikapnya.
3.      Mengambil keputusan yang mengenyampingkan alternatif yang diinginkan.
4.      Mengeluarkan usaha untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang ternyata menjadi tidak sesuai harapan atau tidak ideal.

5.   Secara umum tidak menemukan justifikasi psikologis yang cukup untuk sikap dan perilaku yang dilaksanakan.

Asumsi Teori Disonansi Kognitif

Teori ini membahas efek dari inkonsistensi di antara kognisi yang memunculkan disonansi. West & Turner (2010: 115) menjelaskan ada empat asumsi utama dalam teori ini;
1.      Manusia menginginkan konsistensi dalam kepercayaan, sikap, dan perilaku mereka, teori ini menjelaskan pentingnya konsistensi dan stabilitas dalam apa yang mereka pikirkan dan perbuat.
2.      Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi psikologis, disonansi yang muncul adalah akibat dari inkonsistensi psikologis, bukan semata-mata inkonsistensi logis.
3.      Disonansi adalah keadaan yang tidak disukai (aversive state) yang mendorong orang untuk bertindakn dengan dampak yang mereka perhitungkan, menurut penelitian Elkin & Leippe (1986 dalam West & Turner, 2010: 116), disonansi terbukti terkait dalam memunculkan rangsangan psikologis, yang akan membuat individu untuk bertindak berdasarkan dorongan psikologis.
Disonansi menjadi motivasi bagi usaha untuk meraih konsonansi sekaligus usaha mengurangi disonansi, rangsangan psikologis yang dimunculkan dari inkonsistensi psikologis akan mendorong individu untuk menghindari situasi tersebut dan kemudian mencari situasi yang dapat mengembalikan konsistensi psikologis.

Reduksi Disonansi Kognisi

Reduksi disonansi kognitif adalah berbagai upaya yang dilakukan oleh individu untuk mengurangi disonansi kognitifnya. Upaya tersebut hanya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu melakukan upaya komunikasi tertentu atau dengan mengubah perilaku (yang juga didukung oleh upaya komunikasi). Upaya komunikasi dapat dilakukan dengan reassurance, encouragement, rationale, selective exposure, selective attention, selective interpretation, selective retention, maupun minimal justification (mencakup pemberian minimal incentive dan minimal punishment).

Upaya lain adalah mengubah perilaku yang bertentangan dengan kognisi positif tertentu, namun untuk mengubah perilaku tersebut, tetap ada upaya komunikasi yang menyertainya, termasuk semua upaya komunikasi yang tersedia untuk mengurangi disonansi kognitif, kecuali rationale, karena rationale adalah upaya mengurangi disonansi kognitif dengan menambahkan kognisi positif baru tanpa perlu mengambil tindakan tertentu, sehingga rationale tidak memiliki dampak terhadap pengubahan perilaku sama sekali.

Dalam teori ini, Festinger membahas kondisi dua elemen kognitif yang saling relevan satu sama lain dalam diri individu, tapi kedua elemen tersebut inkonsisten atau tidak saling mendukung. Keadaan tersebut disebut sebagai disonansi kognitif dan menghasilkan ketaknyamanan di dalam diri individu. Keadaan tak nyaman dari disonansi inilah yang mendorong orang untuk bertindak secara kognitif untuk mengurangi disonansi akibat inkonsistensi dari kedua (atau lebih) elemen kognitif tersebut. Festinger membuat derajat disonansi dalam rumus (Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 110):

Disonansi Kognitif =                          Kognisi Disonan                    
                                        (Kognisi Disonan + Kognisi Konsonan)
Rumus tersebut pada dasarnya berarti tingkat disonansi kognitif terletak pada kognisi yang disonan berbanding terbalik dengan seluruh kognisi yang ada dalam pikiran individu. Dari rumus ini, Festinger menjelaskan bagaimana cara invidu mengurangi disonansi dengan menambah kognisi yang konsonan atau menghilangkan kognisi yang disonan. Festinger juga menambahkan satu konsep yang bisa memperkuat (bisa juga memperlemah) kognisi, yaitu tingkat penting (importance) (Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 110).
Bisa saja kognisi konsonan maupun kognisi disonan tidak ditambah maupun dihilangkan, tetapi importansi salah satunya ditambah. Tetapi, individu juga bisa tidak mengubah kognisinya sama sekali dan memilih untuk mengubah sikapnya. Berikut adalah rangkuman dari berbagai cara yang dapat dilakukan individu untuk mengurangi disonansi kognitifnya (Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 110):
  1. Menambah kognisi yang konsonan
  2. Menghilangkan kognisi yang disonan
  3. Meningkatkan importansi dari kognisi yang konsonan
  4. Mengurangi importansi dari kognisi yang disonan
  5. Mengubah sikap (tidak memanipulasi kognisi atau importansi sama sekali)
Teori disonansi kognitif juga menjelaskan bahwa disonansi kognitif dapat dikurangi dengan perubahan perilaku maupun sikap. Perubahan perilaku mengacu pada perubahan yang berdasarkan pada tindakan atau aksi, sedangkan perubahan sikap mengacu pada perubahan atas kognisinya. Berbeda dengan Harmon-Jones, West & Turner mengajukan pendapat berbeda tentang bagaimana individu dapat mengurangi disonansi kognitifnya, yaitu dengan (West & Turner, 2010:118):

1.      Menambah kognisi yang konsonan dalam rasio disonansi sehingga melebihi kognisi yang disonan
2.      Mengurangi importansi dari kognisi yang mengalami disonansi
3.      Mengubah kognisi yang awalnya disonan menjadi kognisi yang lebih konsonan dengan kognisi atau perilaku yang diacu.

Perbedaan di antara dua pendapat (antara Harmon-Jones dengan West & Turner) tentang upaya mengurangi disonansi kognitif terletak pada ada tidaknya peningkatan atau pengurangan importansi dan juga pada penggunaan istilah pengubahan kognisi atau pengubahan sikap. Harmon-Jones menggunakan pengubahan sikap, sedangkan West & Turner menggunakan pengubahan kognisi, yang pada dasarnya keduanya berkaitan. Pengubahan kognisi akan berpengaruh pula para perubahan sikap, karena kognisi adalah bagian dari sikap.


Dalam pembahasan pengubahan sikap yang didorong oleh disonansi kognitif, sikap yang berubah cenderung mengikuti kognisi yang paling sulit untuk diubah atau dikalahkan oleh kognisi lain. Riset dalam teori ini banyak mengasumsikan perilaku terakhir dari individu biasanya perilaku yang paling sulit diubah (Harmon-Jones dalam Littlejohn & Foss, 2009: 110).

Elemen Kognitif dalam Disonansi Kognitif

Brown juga lebih lanjut menjelaskan teori disonansi kognitif pada dasarnya menjelaskan dua elemen dalam tiga jenis hubungan satu sama lain. Tiga hubungan tersebut adalah hubungan konsonan, disonan, dan irrelevan (West & Turner, 2010: 114):
1.      Hubungan konsonan, ada di antara dua elemen yang berada dalam keseimbangan satu sama lain.
2.      Hubungan disonan, ada di antara dua elemen yang berada dalam ketidakseimbangan satu sama lain.
3.      Hubungan irrelevan, ada di antara dua elemen yang tidak berpengaruh satu sama lain.

Brown menjelaskan hubungan konsonan dan hubungan irrelevan tidak dapat menimbulkan ketidaknyamanan, tetapi hubungan disonansi dapat menimbulkan ketidaknyamanan psikologis. Ketidaknyamanan inilah yang membuka kesempatan bagi persuasi menuju perubahan (West & Turner, 2010: 114-115).

konsistensi sikap dalam diri individu

Ada banyak teori yang membahas konsistensi sikap dalam diri individu. Teori-teori ini mengasumsikan harus ada konsistensi di antara berbagai sikap, berbagai perilaku, sekaligus konsistensi antara berbagai sikap dengan berbagai perilaku dalam diri seseorang. Konsistensi dapat menciptakan keseimbangan, equilibrium, homeostatis, atau kondisi seimbang antara berbagai sikap, berbagai perilaku, atau antara berbagai sikap dengan berbagai perilaku (Werder dalam Littlejohn & Foss, 2009: 57).

Teori awal yang membahas konsistensi diri adalah teori keseimbangan (balance theory) yang dikembangkan oleh Fritz Heider. Dia mengembangkan teori yang berfokus pada hubungan antara tiga hal, yaitu pemakna (perceiver), orang lain (another person), dan sebuah objek. Hubungan ketiganya bisa positif atau sebaliknya negatif, berdasarkan pada persepsi yang diciptakan perceiver, dan juga bisa balance maupun unbalance (Werder dalam Littlejohn & Foss, 2009: 57).

Sama seperti teori-teori konsistensi lain, teori ini menjelaskan ketika ada situasi unbalance dalam diri individu, dia akan merasakan ketidakstabilan (unstability). Perceiver kemudian akan berusaha mengembalikan keseimbangan dengan mengubah siap mereka terhadap objek atau terhadap orang lain (Werder dalam Littlejohn & Foss, 2009: 57).

Ada juga teori konsistensi kognitif yang berkembang dari teori keseimbangan. Teori ini dikembangkan oleh Robert Abelson et al.. Teori ini menyatakan orang akan berusaha menjaga konsistensi di antara kepercayaan-kepercayaan mereka, tetapi ketika mereka tidak dapat menjaga konsistensi tersebut, mereka pasti akan membuat perubahan dengan menerima atau menolak kepercayaan terkait (Werder dalam Littlejohn & Foss, 2009: 57).

Teori konsistensi kognitif juga menjelaskan jika seseorang memilih, kemudian pilihan ini membantu mendapatkan pilihan lainnya yang juga disukai, ada konsistensi sikap. Tetapi, ketika seseorang memilih, kemudian pilihannya menghambat orang tersebut mendapatkan pilihan lain yang disukai, ada inkonsistensi sikap terkait suatu pilihan tersebut. Inkonsistensi yang melebihi batas toleransi, akan membuat orang mengubah sikap untuk mendapatkan pilihan yang diinginkan (Werder dalam Littlejohn & Foss, 2009: 57).

Sikap yang dimaksud dalam teori ini adalah sikap dalam menilai apakah suatu pilihan (baik pilihan awal atau pilihan akhir) benar-benar layak disukai atau tidak. Jika satu pilihan akan menutup akses terhadap pilihan yang diinginkan, ada inkonsistensi. Inkonsistensi ini akan membuat orang mengubah sikap terhadap salah satu pilihannya, entah itu pilihan di awal atau pilihan akhir yang ingin dicapai.

Werder (dalam Littlejohn & Foss, 2009: 58) menjelaskan teori ini memiliki pengembangan pada bagaimana orang bertindak terhadap inkonsistensi tidak hanya dengan mengubah sikap, tetapi dapat juga mengambil empat sikap lain yang bertujuan mempertahankan sikap, termasuk denial (penolakan), bolstering (penguatan sikap), diferensiasi (pembedaan terhadap satu pilihan dengan pilihan lain), dan transcendence (penguatan satu pilihan di atas pilihan lain).